Laman

Kamis, 15 Desember 2011

Belum Ada Judul


Kisah ini bermula dari, sepulang kuliah dari sebuah kampus di daerah Pamulang. Melaksanakan sholat Ashar yang sempat tertunda karena mata kuliah yang terakhir tidak ada jeda waktu untuk sholat Ashar, jadi terpaksa sholat Ashar-nya setelah mata kuliah jam terakhir selesai. Kurang lebih pukul 17.00 WIB, barulah kami sholat Ashar. Sungguh perbuatan yang kurang terpuji. Melalaikan tugas yang diperintahkan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta. Yap, Pencipta alam semesta ini. Tapi, apa-lah daya, sepertinya memang kadang kala kita harus mengikuti apa yang sebenarnya tidak sejalan dengan pendapat pribadi.


Saat itu di benakku terpikirkan tiga tempat yang ingin ku datangi. Pertama, ku ingin pergi ke Cibinong. Kondangan ke rumah Rendy-Vita teman yang satu kerjaan denganku sekarang, lalu ke Cilembeur, untuk menyusul teman-teman sewaktu  SMK dulu yang sedang mengadakan acara kumpul bareng dan terakhir ingin ke Bogor, kondangan ke Marta-Ade, teman yang satu kerjaan denganku sewaktu masih di toko dulu.

Setelah sholat Ashar dan berdo’a meminta keselamatan pada Tuhan di mushola yang ada di dekatbasement, ku berjalan kaki menurun menuju ke arah utara dari lobby utama, lalu belok kiri dengan sedikit menanjak, menuju tempat parkir motor yang ada di bagian luar, di bawah pohon Chery. Tempat yang permukaan tanahnya ditutup dengan bata blok, yang konturnya agak miring karena memang jalan ini agak menanjak juga. Disitulah ku parkir sw-ku.  Kuda besi yang tak punya gigi, alias motorcycle automatic machine. Ku lihat sejenak denah lokasi yang ada di kartu undangan resepsi pernikahan dari Rendy-Vita, lalu ku baca pesan singkat yang dikirim oleh teman sewaktu SMK dan juga tak lupa ku baca pesan singkat dari Ade. Semua itu ku lakukan agar dapat terbayang sedikit gambaran tentang tempat yang akan ku datangi. Setelah agak terbayang sedikit, barulah ku nyalakan mesin motorku dan melakukan pemanasan mesin sejenak, karena dari tadi pagi mesin motor dalam keadaan mati. Hal yang biasa dilakukan oleh banyak orang ketika baru menyalakan mesin motor di pagi hari. Mesin motor sudah cukup halus bunyinya, pertanda oli mesin sudah melumuri semua komponen mesin. Dan itu berarti, sw-ku sudah siap dikendarai. Tak lupa juga,  ku pakai semua atribut yang memang seharusnya dipakai oleh seorang pengendara motor.  Helmet, masker, jaket, sarung tangan dan sepatu.

Perlahan-lahan sw-ku berjalan menuju pintu utama kampus. Belok kiri ke arah Sawangan, Depok melalui jalan yang kodisinya kurang bagus terus melaju ke arah Pondok Petir. Setelah cukup lama berjalan menyusuri jalan kampung yang banyak polisi tidurnya, akhirnya keluar juga dan bertemu jalan Parung. Di jalan parung ternyata kemacetan yang luar biasa padatnya. Azan maghrib berkumandang, namun hanya sejenak terpikir di benakku ”Ah, nanti sajalah sholat Maghribnya. Lagipula, sekarang ini macet sekali dan agak sulit untuk ke pinggir jalan dan memberhentikan motor walaupun sudah menyalakan lampu sen” .

Menatap speedometer, lebih tepatnya lagi indikator bensin. Jarum yang ada di indikator bensin sw-ku itu menunjukkan ke arah garis middle, pertanda bahwa persediaan bensin yang ada di tangki tinggal setengah penuh. Tak jauh di depan sana terlihat rambu yang mengisyaratkan bahwa ada pom bensin. Semakin mendekat ke arah pom bensin, dan akhirnya ku berhentikan sw-ku itu di pos pengisian bahan bakar pertamax. Yap, sw-ku ini sedang ku biasakan diisi dengan pertamax. Banyak orang yang bilangpertamax lebih bagus daripada premium. Banyak faktor yang membuatnya jadi berbeda. Mohon maaf sangat, tak dapat ku ceritakan disini. Bikoz, bukan ahlinya sih. So, silahkan cari tahu sendiri aja ya.Sambil menunggu antrian, sekilas ku lihat ada mushola di pom bensin itu. Pom bensin yang ada di sekitar jalan raya Bogor. Ku ingat juga, bahwa diriku ini belum menunaikan ibadah sholat Maghrib. Ingin sekali rasanya, ku tunaikan sholat Maghrib terlebih dahulu sebelum ku lanjutkan perjalanan menuju kondangan Rendy-Vita. Tapi, bertarung juga dua suara dalam hatiku. Satu suara yang mengajak untuk sholat saja terlebih dahulu, agar tenang selama di perjalanan. Dan satu suara lagi yang mengajak agar menunda sholat. “Ah, nanti saja-lah sholat Maghribnya. Di sana saja. Kalau sudah dekat dengan tempat Rendy-Vita. Lagipula, waktu terus berjalan. Sementara itu, belum sampai juga ke tempat tujuan yang pertama. Padahal, aku masih harus ke tempat tujuan yang kedua malam ini juga (puncak-Cilembeur)”. Finally, ku tak sholat Maghrib di mushola yang ada di pom bensin itu. Tapi, melanjutkan perjalanan dengan sebelumnya bertanya pada seorang pemuda pengendara motor mio itu. Pengendara motor yang menunjukkan arah ke pemda Bogor setelah ku tanya padanya terlebih dahulu.

Mengucap bismillah, sambil berdo’a dalam hati, memohon keselamatan sepanjang perjalanan pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Berharap doaku itu pun dikabulkan. Entah kenapa sepanjang perjalanan diriku ini merasa ada yang kurang. Terlebih lagi, sepanjang perjalanan dari pom bensin itu mataku ini diperlihatkan ke arah masjid-masjid dan mushola yang ada di sebelah kanan maupun kiri setiap jalan yang ku lewati. Setiap Masjid yang ku lewati, hanya terbesit dalam hati. “Ah, nanti saja-lah sholat Maghribnya”. Selalu begitu. Sungguh aneh sekali. Sampai ada petunjuk jalan yang bertuliskan Bojong gede, Pemda bogor, Cibinong, ku hampiri orang yang ada di dekat petunjuk jalan itu. Ku tanyakan padanya, apakah benar untuk dapat ke Bojong gede bisa melalui jalan tersebut. Dan dijawab oleh Bapak itu, bisa. “Tinggal lurus saja terus ikutin jalan, sampai ketemu pertigaan ambil kanan dan lurus terus. Nah, disitulah Bojong gede”. Begitu ucap Bapak itu. Tanpa banyak buang waktu, ku ikuti saja petunjuk yang diberikan olehnya itu. Ku telusuri jalan yang naik turun, tidak rata dan banyak lubang itu. Sampai bertemu pertigaan yang dimaksud. Dan ku tanya lagi disitu. Ternyata memang benar, untuk menuju Bojong gede itu tinggal ambil kanan dari pertigaan itu. Ku ikuti terus jalan yang berkontur sangat tidak ramah dengan pengendara kendaraan bermotor itu.
Kondisi jalan yang sungguh sangat buruk yang belum pernah ku lewati. Jalan dengan banyak lubang, berbelok-belok tak jelas, naik turun dan penerangan yang hampir tidak ada sama sekali di beberapa titik jalan mengakibatkan harus ekstra hati-hati untuk setiap pengendara yang melewati jalan tersebut. Tak dapat ku pungkiri, mengendarai motor di jalan buruk yang sudah ku ceritakan di atas yang belum pernah ku lewati sama sekali. Nekat. Yap, sepertinya kata itu yang cocok dengan aksiku saat itu. Membuka  penutup wajah yang ada di helmet pun ku lakukan jua agar mataku ini dapat memandang jalan yang gelap itu. Bayangkanlah seorang buta yang meraba-raba jalan sambil memegang tongkat, memakai kacamata hitam karena matanya yang buta. Mungkin hal ini sama seperti yang ku alami saat itu. Hanya saja memang bukan buta dalam arti sebenarnya. Tapi, buta dalam pengetahuan tentang kondisi jalan di daerah Cibinong itu.

Gubraaak, sreeeeetttt...!!!  Suara orang yang jatuh dari motor dan terseret. Motor yang dikendarainya itu tanpa disadari ternyata masuk ke lubang yang tergenang air. Ban depan masuk ke lubang itu, akhirnya oleng, jatuh dan terseretlah motor itu. Dan Motor itu adalah motor yang ku kendarai malam itu. Seketika ku ucapkan “ALLOHU AKBAR”. Dengan cepatnya, beberapa anak datang membantu membangunkan aku dan motorku yang baru saja terjatuh. Sambil membantu menuntun motor ke pinggir jalan, mereka pun bertanya padaku: “apa gak apa-apa Bang? Motornya juga? “Diriku pun menjawab: “Alhamdulillah gak terlalu parah”. Tak lupa ku ucapakan terima kasih pada mereka dan bertanya perumahan bambu kuning, yaitu perumahan tempat Rendy-Vita mengadakan resepsi pernikahannya. Mereka pun menjawab: “masih jauh dari sini Bang”“Abang lurus ikutin jalan ini aja, jalan ke arah pemda Bogor, tar kalo udah sampe pertigaan, ambil kiri. Nah, disitu tanya ama orang aja lagi”. Ku coba tuk menyalakan mesin motor lagi. Sungguh kaget, motorku tak dapat menyala. Padahal kunci kontak sudah dalam keadaan ONAh, ternyata ku lupa satu hal. Standar samping. Sw-ku ini kan gak bakal mau nyala mesinnya, kalo standar sampingnya masih diturunkan. Lalu, ku naikkan standar samping. Ku coba nyalakan lagi. Dan. Alhamdulillah. Akhirnya mesin motorku ini pun menyala juga.

Tak lama setelah ku jatuh dari motor. Di tempat yang sama pula. Gara-gara lubang itu. Seorang pengendara mio pun mengalami nasib yang sama seperti yang baru saja ku alami. Ku lihat kejadian itu dengan cepatnya. Dengan mata kepalaku sendiri. Dilema yang ku alami. Ingin rasanya ku tolong pengendara motor yang baru saja terjatuh itu. Tapi, diriku sendiri saja masih merasakan sakit karena baru jatuh juga. Tapi, ku lihat sudah ada beberapa orang yang menolongnya. Tak ketinggalan, beberapa anak yang tadi menolongku pun ikut menolongnya. Ku coba jalankan sw-ku yang baru saja ku nyalakan mesinnya. Ku dekati pengendara yang bernasib sama denganku itu. Ku tanya padanya: “jatuh juga ya Pak? Saya juga baru jatuh nih Pak, tuh.. liat aja motor saya pada lecet gitu”. Bapak itu pun menjawab: “Iya.  Kalo saya sih gak apa-apa motornya lecet, tapi tangan saya ini, sakit dan perih sekali.” Setelah berdialog singkat itu pun akhirnya ku pamit duluan meninggalkan mereka semua. Para penolong yang baik hati, tak terkecuali bocah-bocah itu. Mereka juga memberikan peringatan padaku agar hati-hati melewati jalan di daerah itu. Karena memang jalan di daerah itu tidak bagus dan banyak lubang. Tadi, sebelum aku dan pengendara yang baru saja terjatuh itu pun sudah ada pengendara lain yang terjatuh. Ku berkata dalam hati kecilku: “Hemm.. pantas saja, ternyata memang sepertinya ada unsur pembiaran”Toh, buktinya tak ada usaha untuk memberikan tanda di jalan yang ada lubang itu.Yap, tanda yang seharusnya diberikan agar para pengendara yang melewati jalan itu bisa lebih berhati-hati.

Baru berjalan beberapa meter dari lokasi terjatuhnya diriku. Ku lihat di sebelah kanan jalan ada sebuah masjid. Seketika diriku pun langsung ingat, bahwasannya diriku ini belun sempat sholat Maghrib. Padahal di sepanjang perjalanan tadi banyak sekali masjid dan mushola yang ku lewati.  Ku berkata dalam hati kecilku: “Ah, memang dasar diriku saja yang bandel”. Tuhan itu sungguh sangat sayang pada hamba2-Nya, tapi jarang sekali kita yang berpikir sampai sejauh itu. Berandai-andai pun di lakukan. Coba saja, kalo tadi aku sholat Maghrib terlebih dahulu mungkin kecelakaan ini gak bakalterjadi. Hemm.. ku ingat juga, tak boleh berandai-andai seperti itu. Kalau sudah terjadi, Ya terjadi-lah. Tak usah di ungkit2 lagi. Mungkin ini memang takdirku yang harus mengalami kecelakaan ini. Banyak sekali hikmah yang dapat ku ambil dari kisah ini. Tapi maaf Yah, nanti saja membahasnya. Sekarang, silahkan terus membaca kisahku ini dengan sabar dan teliti, okeh … :)

*To be Continue Yah....... hehe :)

Tidak ada komentar: