Laman

Jumat, 13 Januari 2012

Salah Satu Kekayaan Laut Nusantara


Dua Malam di Pulau Sembilan
time traveller Sat, 17 Mar 2007 10:31:00 WIB
Sinjai - Pernah mendengar Pulau Sembilan ?. Pulau Sembilan adalah gugusan pulau yang jumlahnya ada sembilan dan letaknya di sebelah timur Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Sinjai.

Memang masih sedikit informasi tentang pulau ini. Namun yang pasti, banyak hal yang menarik di sini. Pemandangan pesisir, ragam biota laut serta nelayan yang bekerja dan menggantungkan hidup dari hasil laut.

Kami ke Pulau Sembilan dengan perahu kecil yang hanya bisa mengangkut beberapa penumpang. Dari dermaga nelayan di Kota Sinjai, perjalanan tidak terlalu lama hanya sekitar satu jam.


Jarak ke pulau ini hanya tiga belas kilometer, namun bila musim angin besar antara bulan Oktober hingga Maret, perjalanan bisa beresiko, karena perahu sekecil ini bisa menjadi mainan ombak besar.

Sebagian besar penduduk adalah nelayan. Mereka menghabiskan waktu di keramba jaring apung ini, seolah sudah seperti rumah sendiri.

Perairan di sini sangat baik dengan jumlah terumbu karang yang sangat banyak dan beragam. Tentu bagi para nelayan, tempat ini sangat baik untuk medapatkan ikan karang, seperti kerapu dan lobster.

Nelayan biasanya menjual hasil tangkapan mereka di tempat ini dan salah satu yang menjadi primadona adalah ikan kerapu merah, atau orang di sini biasa menyebutnya ikan sunu.

Ikan ini banyak penggemarnya. Namun tidak mudah menangkapnya. Para nelayan biasanya memancing di karang, karena ikan seperti ini hidup di rongga – rongga karang.

Biasanya nelayan yang sudah berpengalaman, sudah tahu dimana lokasi paling banyak hidup ikan - ikan ini. Harganya cukup mahal. Bila dijual dalam keadaan hidup harganya bisa dua ratus ribu rupiah per kilogramnya.

Sebaliknya, bila dalam keadaan seperti ini mati, tidak ada harganya. Di campakan begitu saja. Makanya, para nelayan biasanya langsung cepat – cepat menjualnya, kendati jumlah tangkapan tidak banyak. Yaaah … dari pada uang ratusan ribu melayang.

Setiap hari, kami memperkirakan jutaan rupiah hasil transaksi ikan kerapu di keramba apung jaring apung ini. Biasanya oleh para nelayan pengumpul ikan – ikan ini dibesarkan lebih dahulu di dalam keramba dan bila ukurannya sudah lumayan besar, baru mereka jual.

Pembeli biasanya datang langsung ke sini, bahkan ada yang khusus datang dari luar negeri seperti Hongkong. Begitu terkenalnya tempat ini, sehingga sejak belasan tahun yang lalu, kolam jaring apung sudah banyak bertebaran di sini. Itu baru ikan kerapu.

Belum dengan lobster ini. Jumlahnya berlimpah ruah dan sumber penghasilan bagi nelayan disini. Bagaimana mereka mengubahnya menjadi rupiah. Kita lihat sesaat lagi.

Seharian menyusuri perairan Pulau Sembilan tidaklah cukup. Masih banyak kehidupan nelayan di sini yang menarik untuk diamati.

Hari itu memang cerah dan bagi nelayan sangat menguntungkan karena laut cukup tenang. Bila musim angin besar dating, biasanya Oktober hingga Maret, justru menjadi malapetaka bagi mereka.

Apa yang dibawa nelayan ini adalah lobster, kekayaan lain Pulau Sembilan, selain kerapu merah. Ini adalah lobster kipas namanya. Jenis ini kabarnya nilainya menduduki peringkat ketiga setelah lobster mutiara dan tebu.

Bentuknya agak aneh memang. Di beberepa tempat di Sulawesi Selatan, udang jenis sebenarnya sudah terancam punah, sehingga sebagian nelayan harus mencarinya hingga ke daerah - daerah tertentu.

Walaupun harganya tidak setinggi mutiara dan tebu, siang malam nelayan di sini memburu lobster kipas. Sebelum menjualnya, nelayan ini menaburkan serbuk pasir. Pasir ini akan menghidupinya lobster ini selama tiga hari.

Mereka lalu membungkusnya dengan Koran. Lobster kipas ini memang biasa dijual dalam keadaan masih hidup, karena saat dihidangkan nanti, terasa lebih nikmat bila masih dalam keadaan segar.

Udang kipas di perairan ini masih cukup banyak, sehingga membuat nelayan di sini sedikit bisa bernafas lega. Udang kipas ini bergerak secara aktif pada malam hari untuk mencari makan.

Gerakannya pun lambat, sehingga sebenarnya tidak terlalu sulit menangkapnya dibanding ikan kerapu. Bahkan dengan tangan kosong sekalipun.

Sudirman adalah salah satu nelayan di sini yang sudah lama berburu lobster kipas ini. Udara malam yang cerah seperti ini adalah yang ia tunggu – tunggu. Dan hari itu, ia tidak sendiri, karena kami turut menemaninya.

Biasanya ia menjelajahi laut berburu lobster seorang diri pada malam hari. Keberanian itu, sebenarnya merupakan salah satu modal Sudirman dalam berburu. Peralatan yang ia gunakan sederhana saja, hanya petromak dan biduk kecil ini.

Namun ia memiliki insting tajam yang sudah terasah puluhan tahun. Ia mampu mengetahui laut yang dalam dan dangkal. Lobster kipas memang hidup di perairan dangkal.

Untuk itu, mata Sudirman harus selalu waspada, karena penerangan petromak hanya bisa menembus hingga kedalaman tiga meter. Sisanya ia harus menggunakan insting. Karena bisa saja, tangannya salah menangkap, seperti ular laut yang berbisa dan mematikan.

Malam itu, ia tidak cukup beruntung. Sudirman hanya mendapat beberapa ekor lobster kecil dan beberapa ekor teripang. Angin yang tiba – tiba bertiup kencang membuat arus laut menjadi deras. Ini sangat menyulitkan dia, sebab pandangannya menjadi kabur.

Sudirman memutuskan untuk menghentikan perburuannya. Ia harus menunggu angin reda, karena angin seperti ini menurut dia cepat berubah. Kami dan Sudirman pun berpisah. Ia tetap melanjutkan perburuannya hingga pukul tiga subuh.

Sudirman adalah salah satu dari ratusan nelayan di Pulau Sembilan yang siang malam berburu lobster. Pengalaman telah membuat dia bisa mengendalikan resiko. Namun malam itu, kami justru menemukan banyak hal yang menarik, yakni bagan rambo.

Sebuah kapal dengan lampu beraneka warna yang dipakai nelayan di sini untuk menangkap ikan. Alat sederhana, namun ampuh. Ini sedikit mengobati kekecewaan kami yang tidak mendapat lobster kipas yang besar. Bagan rambo adalah sejenis kapal penangkap ikan berukuran sedang yang dipasangi lampu beraneka warna.

Kapal ini adalah salah satu cara lagi nelayan di sini dalam mencari ikan pada malam hari. Sinar dari lampu – lampu ini akan memancing ikan mendekat ke kapal.

Pada malam hari, ikan akan tertarik dengan cahaya. Pada bagian bawah kapal, nelayan sudah menebar jaring. Ikan sudah mulai banyak terkumpul. Mereka pun mulai menarik tuas pengait jarring.

Kalau sudah begini seluruh lampu di sekeliling kapal dimatikan, hanya tinggal sebuah lampu yang berada di tengah. Lampu ini akan berkumpul dan tidak menyebar kemana – mana.

Ikan kecil ini jumlahnya sangat banyak dan mereka terjebak karena terpancing cahaya lampu yang ada di sekitar kapal. Bila pada malam hari menyusuri perairan ini, anda akan melihat banyak sekali bagan rambo.

Biasanya mereka berminggu – minggu di laut. Makan dan tidur di atas bagan ini. Kalau ikan sudah terkumpul banyak, barulah mereka kembali.

Beberapa jam kami bersama mereka di atas bagan ini. Melihat bagaimana kerasnya bekerja mencari ikan. Tapi ada pengalaman lain yang tidak kami rasakan selama ini. Menyantap ikan segar ditengah laut lepas pada malam hari....mmm.

Kami masih ada satu hari lagi di perairan Kepulauan Sembilan. Sebelum kembali, sejenak kita lihat sebagaian nelayan di sini yang beternak teripang.

Peternakan teripang mereka bangun di lepas pantai yang dangkal dengan jaraknya tidak jauh dari daratan. Banyak orang masih merasa jijik dengan binatang ini, karena bentuknya yang aneh dan lunak.

Nelayan di sini berternaknya, karena harganya cukup mahal. Satu kilogram teripang kering yang biasanya berjumlah sepuluh hingga lima belas ekor, harganya bisa empat ratus ribu rupiah.

Teripang atau mentimun laut tidak hanya makanan yang melezatkan, namun juga berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit ringan hingga berat, paru – paru atau tekanan darah tinggi.

Perlu anda tahu, Indonesia adalah negara penghasil teripang terbesar di dunia. Masa panen teripang ini adalah enam bulan, lalu dijual dalam bentuk yang sudah kering.

Nelayan di sini, sebelumnya menaburkannya dulu dengan garam lalu direbus dengan air yang tidak terlalu panas. Teripang ini kemudian diasapkan, lalu dikeringkan di terik panas matahari.

Beternak teripang tidak terlalu menguras uang nelayan di sini. Hanya dengan uang sekitar dua juta rupiah, biasanya nelayan sudah berani untuk beternak.

Namun tidak mudah untuk mendapatkan bibit. Biasanya bibit teripang ini mengandalkan dari nelayan, sedangkan nelayan di sini sebagian besar lebih tertarik mencari ikan kerapu merah atau lobster kipas yang harganya menjanjikan.

Dua hari di Pulau Sembilan, terasa belum cukup. Masih banyak yang menarik yang belum kami lihat. Masyarakat di sini memang tidak bisa dari laut.

Laut adalah sumber kehidupan yang harus mereka pelihara. Hanya saja ada yang membuat kami agak kuatir dengan kelangsungan hidup masyarakat di sini. Yakni kerusakan terumbu karang dimana nelayan di sini sudah mulai mengeluh.

Yaaa..., bila itu terjadi, tentu tidak akan ada lagi kerapu merah atau lobster yang mahal. Kami berharap, mereka mau menjaganya, buat semua itu buat mereka sendiri. (Irianto Mahani/Sup/Ind)

Sumber: Indosiar.com


*Sumber tulisan ini: cybertravel

Tidak ada komentar: