Laman

Minggu, 28 Oktober 2012

Suara Gaduh di Seberang Masjid

Bismillah,

Ku tulis kisah ini sebagai pengingat dan sebuah bahan renungan diri pribadi dan bagi para pembaca sekalian.

Sebuah pesan singkat (SMS) ku terima dari adik kelasku sewaktu SMK. Joko. Ya, namanya adalah Joko Firmansyah. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan "Jho". Isi pesan singkat (SMS) itu adalah undangan untuk datang ke Masjid Uswatun Hasanah SMKN 13 Jakarta yang diterima oleh Joko dari adik kelas yang saat ini masih duduk di bangku kelas 3 jurusan akuntansi, SMKN 13 Jakarta. Hendra. Ya, namanya adalah Hendra Setiawan. Sederhananya, Joko mendapat pesan singkat (SMS) dari Hendra, lalu Joko mengundang kami (ISLAH 13) untuk dapat hadir ke Masjid Uswatun Hasanah malam itu; malam Sabtu (Jum'at, 26 Oktober 2012/10 Dzulhijjah 1433 H) dalam rangka menjaga hewan qurban sekaligus silaturahmi dengan adik-adik kelas.

Malam itu sebenarnya aku sendiri masih bimbang. Apakah aku dapat ikut hadir atau tidak. Karena pada malam itu masih ada tugas kantor yang harus ku selesaikan dan harus segera dikirim ke atasanku via email malam itu juga. Tugas kantor itu adalah Laporan Rekap Absensi Karyawan All Store. Sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah jika modemku masih bisa digunakan. Yang jadi masalah adalah paket internetanku sudah habis. Dan, uang untuk membeli pulsa modem tersebut juga tiris. Walhasil, terpaksa aku harus mengerjakan tugas kantor itu di warnet. Tadinya ku pikir akan ku kerjakan di warnet dekat rumah teman sekelasku sewaktu SMK. Mudiar. Ya, Mudiar namanya. Tapi, tidak jadi.

Ku kirim pesan singkat (SMS) pada temanku itu.

"Yar, ane tunggu di mushola Nana sekarang, thx"

Sebuah pesan singkat yang benar-benar singkat. Setelah ku kirim pesan tersebut pada Mudiar, ku parkir "Keboku" (sebutan untuk sepeda motor SkyWave ku) di gang yang berada di sebelah Mushola yang bernama Al-Ikhlas. Nama mushola tersebut adalah Mushola Al-Ikhlas yang berada di pingir jalan KH. Sya'dan jalur yang biasa dilewati oleh Mikrolet M. 09 A jurusan Slipi - Kebayoran. Tapi, kami biasa menyebut mushola itu dengan sebutan "Mushola Nana" karena teman kami yang bernama Nana tinggal di sebelah Mushola itu, dan ternyata pemilik/ pendiri Mushola tersebut adalah ayahanda teman kami itu (Nana).

Dalam penantian kedatangan temanku itu (Mudiar). Ku duduk sediri di depan Mushola Nana itu. Tampak terlihat seorang laki-laki dewasa memegang sebuah tasbih yang berpakaian tidak sesuai dengan apa yang digenggam oleh tangan kanannya (tasbih). Pakaian yang lusuh, kotor dengan wajah dan badan yang kucel. Terlontar kata-kata yang tidak jelasa dari mulutnya. Kata-kata aneh. Ya, kata-kata aneh dan tidak jelas dari orang yang tidak jelas statusnya. Siapakah dia? Apa yang sedang dilakukannya disitu? Mengapa Ia membanting tasbih ke sebuah pot bunga yang ada di depan mushola sambil menggerutu? Ah, sudahlah. Tak penting rasanya semua pertanyaan itu. Pertanyaan yang hadir dalam bisik hatiku. Yang penting dia tidak mengangguku dan orang-orang yang ada disitu pada saat itu. Biarkanlah Ia selama tidak mengganggu. Ku pikir dia adalah orang yang sedang kehilangan akal sehat (orang gila). So, untuk apa menguras waktu dan pikiran hanya untuk untuk itu. Yang terpenting sekarang adalah mana temanku itu (Mudiar)???

Masih menunggu kehadirannya...